Makam
Sabokingking, merupakan pemakaman para raja-raja awal kerajaan Islam Palembang
yang telah berusia sekitar 500 tahun. Kompleks Makam Sabokingking ini
terdapat di dalam kawasan PT Pusri. Tokoh yang dimakamkan di kompleks ini
antara lain Pangeran Sido Ing Kenayan (1630-1642 M). Sido Ing Kenayan adalah
Raja Palembang yang menggantikan pamannya, Pangeran Sido Ing Puro (1624-1630 M)
dan kedudukannya kemudian digantikan oleh sepupunya, Pangeran Sido Ing Pasarean
(1642-143 M). Makam ini berdampinngan dengan makam istri Pangeran Sido Ing
Kenayan, yaitu Ratu Sinuhun.
Seperti makam
Pangeran Sido Ing Kenayan dan istrinya Ratu Sihuhun, Sido Ing Pasaeran atau
Jamaluddin Mangkurat I (1630-1652), serta Pangeran Ki Bodrowongso yang pernah
hidup di antara tahun 1622-1635 Masehi. Makam ini terletak di Sei-Buah, Ilir
Timur II, Palembang. Letak
makam Pangeran Sido Ing Kenayan dan istrinya Ratu Sinuhun ini tidak jauh dari
dari kompleks pemakaman kakek mertuanya Ki Gede Ing Suro, di lorong Haji Umar,
di 1 Ilir Palembang. Ratu Sinuhun merupakan cucu Ki Gede Ing Suro. Di bawah pemerintahan
Sido Ing Kenayan, Ratu Sinuhun mampu melahirkan kitab Undang-undang 'Simbur
Cahaya' yang merupakan hukum adat tertulis dan berlaku di seluruh wilayah
Sumatra Selatan saat itu.
Disekitar
makam ini juga terdapat pemakaman umum buat penduduk asli daerah tersebut.
Untuk menuju ke tempat ini dapat mi akses melalui dua jalan, Jalan Sabokingking
dan Jalan Arafuru. Makam Sabokingking in merupakan makam tertua para raja atau
pangeran di Palembang. Di
makam ini disemayamkan Pangeran Sido Ing Kenayan (1622-1630), Sido Ing Pasaeran
atau Jamaluddin Mangkurat I (1630-1652), Ratu Sinuhun- penulis kitab Simbur
Cahaya- serta imam kubur Al Habib Al Arif Billah Umar bin Muhammad Al Idrus bin
Shahab, serta Panglima Kiai Kibagus Abdurrachman.
Di samping itu, terdapat pula makam guru agama raja,
Habib Muhammad Imam Alfasah yang berasal dari Arab. Hingga kini, Ratu Sinuhun
diyakini sebagai penulis kitab Simbur Cahaya. Kitab ini sering pula disebut
Undang-undang Simbur Cahaya, yang isinya norma hukum adat. Ada pula keyakinan,
Simbur Cahaya adalah "pengesahan" hukum adat (lisan) yang pada masa
itu berlaku sudah berlaku pada masyarakat pedalaman Sumatera Selatan. Simbur
Cahaya, pada dasarnya memang mengatur rakyat di luar Palembang atau dikenal
dengan istilah uluan. Aturan adat ini berlaku hingga ratusan tahun sampai UU
No. 5 Tahun 1979 berlaku efektif di Sumatera Selatan. Sebelumnya, Simbur Cahaya
terdiri atas lima bab, ini juga telah membentuk pranata hukum dan kelembagaan
di Sumatera Selatan.